Kisah Secangkir Teh

Post : Jan Nasution



Menjelang Akhir tahun, Ana, seorang pengusaha yang cukup terkenal, hang out ke satu mall. Berbelanja menghabiskan cukup banyak uang untuk keperluan yang kalau bisa dikatakan secondary needs bahkan third needs. Disaat akan meninggalkan mall tersebut Ana berjumpa dengan mantan guru SMA nya. 

Dengan sedikit basa-basi akhirnya Ana bersedia menerima undangan untuk mampir ke rumah gurunya tersebut.

Begitu sampai dirumah gurunya tersebut, sepuluh menit pertama komunikasi didominasi oleh Ana, dengan menceritakan segala jerih payahnya hingga sampai berhasil, mendeskripsikan kemewahan dengan sejumlah mobil, rumah yang besar, berlian dan bermacam-macam investasinya. Dengan penuh gelora dia sampaikan bagaimana kehidupan rumah tangganya, suaminya yang super sibuk dan anaknya yang “mandiri” tanpa bimbingannya. Sang guru tekun mendengarkan apa yang disampaikan oleh Ana.

Sepuluh menit kedua, suasana mendadak hening. Mulai tampak gelisah dan muncul kerutan dahi di wajah Ana seperti ada yang kosong dalam pikirannya.

Kelihatan Ana sedang stres karena sebenarnya pekerjaan, prestasi, kondisi ekonomi, keluarga dan situasi hati tak secerah apa yang dia miliki dan duduki. Bahwa uang mengalir deras, adalah sebuah fakta yang terlihat dengan jelas dari mobil yang dia kendarai serta merek baju dan perhiasan yang dia pakai. Namun di lain pihak, dia sebenarnya sedang dirundung masalah berat, yakni kehilangan makna hidup. Di satu sisi dia sukses meraih kekayaan, di sisi lain dia miskin dalam menikmati hidup dan kehidupan itu sendiri. She have money but not life.

Mengetahui hal itu, sang guru memecahkan keheningan dengan menawarkan untuk minum teh. Diambillah oleh sang Guru tersebut satu ceret teh dan beberapa cangkir plastik biasa dan satu cangkir yang paling bagus yang dia punya. “Minumlah dulu teh ini…”, begitu kata sang guru. Ana mengambil cangkir yang bagus, menuangkan teh dan meminumnya. Kemudian Guru yang bijaksana tersebut memulai wejangannya “Tahukah kamu Ana, Sesungguhnya mobil, perhiasan, rumah dan uang yang kita punya hanyalah alat untuk hidup, kadang kita lupa akan makna hidup dengan hanya mementingkan alat tersebut, sepertihalnya teh sekarang yang engkau minum… kita dengan sadar lebih memilih cangkir yang bagus dari pada mementingkan citrarasa teh tersebut”.

Apabila kita terobsesi akan pemenuhan kebutuhan tersebut yang muncul adalah ambisi, materialisasi. Kepekaan akan lingkungan akan menyusut dengan sendirinya dan ujungnya menjadi egoisme.

Setelah mendegar nasehat sang guru tersebut, sontak Ana menangis 7 hari 7 malam...(wedehhh... endingnya kok gene??! *@+_=-^^%#^&^!%#&*^)


RENUNGAN :

Mengambil yang terbaik dan menyisakan yang kurang baik adalah sangat normal dan wajar dalam pemenuhan kebutuhan, tapi harus diingat yang terpenting adalah TINGKATKANLAH KUALITAS HIDUP KITA, kalo bahasa bulenya : "life is the tea, and the jobs, money and position in society are the cups. They are just tools to hold and contain life, and do not change the quality of life. Sometimes, by concentrating only on the cup, we fail to enjoy the tea provided. So, don't let the cups drive you, enjoy the tea instead"

 

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar